Istilah brain rot belakangan sering muncul dalam percakapan publik untuk menggambarkan kondisi mental yang terasa “tumpul” akibat terlalu banyak mengonsumsi konten digital singkat dan berulang. Meski awalnya terdengar seperti istilah populer di media sosial, sebuah penelitian ilmiah terbaru menunjukkan bahwa fenomena ini bukan sekadar metafora budaya, melainkan pola psikologis yang bisa diukur secara ilmiah.
Sebuah studi yang diterbitkan dalam European Journal of Investigation in Health, Psychology and Education tahun 2025 mengembangkan dan memvalidasi sebuah instrumen psikometrik bernama Brain Rot Scale (BRS-14) untuk mengukur dampak konsumsi berlebihan konten digital berkualitas rendah pada Generasi Alpha dan Generasi Z. Penelitian ini melibatkan hampir 1.300 responden muda berusia 8 hingga 24 tahun dan memberikan gambaran konkret tentang bagaimana pola konsumsi digital memengaruhi perhatian, perilaku, dan cara berpikir generasi digital native.
Ledakan Konsumsi Digital pada Generasi Alpha dan Z
Penelitian ini berangkat dari fakta bahwa Generasi Alpha dan Generasi Z merupakan generasi pertama yang sepenuhnya tumbuh dalam ekosistem digital. Berbeda dengan generasi sebelumnya yang mengonsumsi media secara terjadwal dan pasif, generasi ini terpapar konten digital sejak usia dini melalui gawai pribadi dengan pola konsumsi cepat, singkat, dan berkelanjutan.
Data yang dikutip peneliti menunjukkan bahwa remaja usia 17–19 tahun rata-rata menghabiskan sekitar 6 jam per hari di perangkat digital, sementara sebagian mahasiswa Generasi Z dilaporkan menggunakan ponsel dan media sosial hingga 9 jam atau lebih per hari, dengan sekitar 70 persen mengakui adanya kecenderungan adiksi internet. Pola konsumsi ini meningkat tajam setelah 2010 dan terus berakselerasi seiring dominasi platform video pendek berbasis algoritma.
Konten digital yang dikonsumsi bukan lagi sekadar hiburan, tetapi tersusun dalam sistem infinite scroll yang dirancang untuk mempertahankan perhatian pengguna selama mungkin. Akibatnya, banyak pengguna terjebak dalam perilaku binge-scrolling tanpa kesadaran waktu dan tanpa tujuan yang jelas.
Dari Fenomena Budaya Menjadi Konstruk Psikologis
Istilah brain rot merujuk pada penurunan kapasitas kognitif dan kelelahan mental akibat konsumsi konten digital yang repetitif, dangkal, dan berlebihan. Fenomena ini mendapat pengakuan luas ketika ditetapkan sebagai “Word of the Year” oleh Oxford pada 2024, mencerminkan kekhawatiran global tentang dampak teknologi terhadap kualitas berpikir dan kesehatan mental.
Penelitian ini tidak berhenti pada level wacana budaya. Para peneliti mengembangkan Brain Rot Scale untuk menangkap fenomena tersebut secara empiris. Skala ini dirancang khusus untuk konteks konten digital modern, yang berbeda secara fundamental dari media digital era sebelumnya.
Metodologi dan Skala Penelitian
Penelitian dilakukan dalam dua tahap utama. Tahap pertama menggunakan 403 responden untuk analisis faktor eksploratori, sementara tahap kedua melibatkan 897 responden untuk analisis faktor konfirmatori. Seluruh responden berasal dari Mesir dan mewakili Generasi Alpha dan Z, dengan rentang usia 8–24 tahun.
Hasil analisis menghasilkan skala final berisi 14 item yang terbagi dalam tiga dimensi utama:
- Attention Dysregulation, berkaitan dengan gangguan fokus dan kesulitan mempertahankan perhatian.
- Digital Compulsivity, berkaitan dengan perilaku penggunaan gawai yang bersifat kompulsif.
- Cognitive Dependency, berkaitan dengan ketergantungan kognitif pada perangkat digital.
Ketiga dimensi ini secara bersama menjelaskan 35,1 persen varians umum, sebuah angka yang dinilai memadai untuk konstruk psikologis kompleks dalam ilmu sosial.
Gangguan Perhatian sebagai Dampak Utama
Dimensi Attention Dysregulation menjadi kontributor terbesar, menjelaskan sekitar 23,7 persen varians. Responden menunjukkan kecenderungan berpindah aplikasi tanpa menyelesaikan tugas, kesulitan membaca teks panjang secara mendalam, serta ketergantungan pada stimulasi digital untuk menyelesaikan tugas sederhana.
Secara kuantitatif, item-item dalam dimensi ini memiliki factor loading antara 0,58 hingga 0,74, menunjukkan hubungan yang kuat dengan konstruk gangguan perhatian. Temuan ini sejalan dengan riset neuropsikologi yang menunjukkan bahwa paparan konten cepat dan berpindah-pindah melemahkan kemampuan atensi berkelanjutan, terlepas dari durasi penggunaan.
Perilaku Kompulsif dan Kehilangan Kontrol
Dimensi kedua, Digital Compulsivity, mencerminkan pola penggunaan yang sulit dikendalikan. Responden melaporkan kebiasaan memeriksa ponsel segera setelah bangun tidur dan sebelum tidur, kecemasan saat baterai hampir habis atau tidak ada koneksi internet, serta kegagalan berulang dalam upaya mengurangi waktu layar.
Dimensi ini memiliki factor loading antara 0,54 hingga 0,75 dan berkorelasi kuat dengan dimensi gangguan perhatian, dengan koefisien korelasi mencapai 0,67. Artinya, semakin terganggu perhatian seseorang, semakin besar kemungkinan ia terjebak dalam perilaku digital yang kompulsif.
Ketergantungan Kognitif pada Perangkat Digital
Dimensi ketiga, Cognitive Dependency, meski hanya terdiri dari tiga item, mengungkap temuan yang signifikan. Banyak responden mengaku sulit mengingat informasi dasar seperti nomor telepon atau alamat tanpa bantuan gawai, serta secara refleks mencari jawaban di internet alih-alih mencoba mengingat.
Dimensi ini memiliki factor loading antara 0,61 hingga 0,72, dengan reliabilitas yang tetap baik meski jumlah item terbatas. Peneliti mengaitkan temuan ini dengan fenomena cognitive offloading dan apa yang dikenal sebagai Google effect, di mana informasi yang dianggap selalu tersedia secara digital cenderung tidak disimpan dalam memori jangka panjang.
Validitas dan Keandalan Skala
Secara statistik, Brain Rot Scale menunjukkan kualitas pengukuran yang sangat baik. Reliabilitas total skala mencapai ω = 0,900, dengan Cronbach’s alpha sebesar 0,899. Uji confirmatory factor analysis juga menunjukkan kecocokan model yang sangat kuat, dengan nilai CFI = 0,988, TLI = 0,985, dan RMSEA = 0,031, jauh di bawah batas maksimal yang direkomendasikan.
Model hierarkis menunjukkan bahwa faktor penjelas umum “brain rot” menjelaskan antara 62,9 hingga 69,9 persen varians dari ketiga dimensi utama, menegaskan bahwa gangguan perhatian, perilaku kompulsif, dan ketergantungan kognitif adalah bagian dari satu fenomena yang saling terkait.
Implikasi bagi Pendidikan dan Kesehatan Mental
Temuan ini memiliki implikasi luas. Dalam konteks pendidikan, pola brain rot berpotensi mengganggu kemampuan belajar mendalam, regulasi diri, dan pemrosesan informasi kompleks. Dalam konteks kesehatan mental, ketergantungan digital yang tidak disadari dapat memperburuk kecemasan, gangguan atensi, dan kelelahan kognitif.
Peneliti menekankan bahwa Brain Rot Scale belum ditujukan untuk diagnosis klinis, tetapi sebagai alat skrining dan penelitian. Namun, keberadaannya membuka ruang bagi intervensi berbasis data, baik di sekolah, keluarga, maupun kebijakan publik.
Kesimpulan
Penelitian ini menegaskan bahwa brain rot bukan sekadar keluhan generasi tua terhadap kebiasaan anak muda. Ia adalah fenomena psikologis yang dapat diukur, dianalisis, dan dipahami secara ilmiah. Dengan data dari lebih dari seribu responden dan validasi statistik yang kuat, Brain Rot Scale memberikan fondasi penting untuk memahami dampak nyata konsumsi konten digital berlebihan pada fungsi kognitif generasi masa kini.
Di tengah dunia digital yang semakin agresif memperebutkan perhatian, penelitian ini menjadi pengingat bahwa kualitas konsumsi informasi sama pentingnya dengan kuantitasnya.
Sumber
Mostafa, M. M., et al. (2025). Development and Psychometric Validation of
the Brain Rot Scale: Measuring Digital Content Overconsumption Among Generation
Alpha and Generation Z. European Journal of Investigation in Health,
Psychology and Education, 15, 262.



Komentar
Belum Ada Komentar